Minggu, 17 Desember 2017

Bait Malam


Pada cinta, sesampai aku termanggu pada kebodohan ilusi malam
Pada cinta, aku bertahtahkan bunga teratai terabaikan ruang
Pada cinta, sesudah malam, masihka aku bisa temani gemari tanganmu
Pada malam, aku disini bersama bintang entah sunyi dalam keramaian
Pada malam, masihka bisa aku memeluk bulan?
Pada malam, masihkah aku bisa bercermin pada gelapmu?
Pada malam, disini, yahh disini aku menunggu pagi.
Pada bintang, masihkah engkau berkilau diantara bintang kejora?
Pada bintang, masihka engkau menyanyikan lirik tentang aku?
Pada bintang, masihkah kita bersama menyambut sang fajar?
Pada bintang, aku terpukau pada sinarmu yg redup, dan masihkah kau berpikir aku adalah aku yg sempat engkau sebut dalam doamu?
Pada bulan, masihkah enggan engkau berkulau dalam sendirimu?
Pada bulan, kilaumu menyayat mataku untuk memujamu.
Pada bulan, sendirimu menceritakan tentang arti menunggu engkau tersadar dalam cahayamu
Pada bulan, aku dan dirimu sama menerawang yg tak sempat kita langkah melihatnya.
Berjuta rasa dalam masa memasungku untuk mencintai
Bejuta belati menyatukan sayatan yg sempat terbelah
Aku telah merajut waktu yg tak aku pungkiru tak bisa aku ciptakan.
Sesampainya engkau tau aku munkin mengisi ruang yg tak sadar kau melihatnya.
Bermasa aku terngiang sajian sesepuh tentangmu
Yah
Itu tentangmu yang tak sempat engkau tau arti cintaku.
Aku melukis kata bukan untuk mengubahmu
Aku merangkai agar kau pernah tau ada cinta yg terlintas antara cinta dan rindu yg terbungkam.
Bila waktunya engkau tau, sempatkah engkau bercerita arti diriku
Jika engkau tak sempat tahu, biarkan kain merah muda terkubur dalam jiwa
Nestapa bait malam yg sunyi

Sang pelukis hidup


Hey...
Kamu
Bukan.
Kamu..
Iya kamu
Sempatkah waktu untuk mendengarkan lukisanku?
Atau sudikah engkau memegang kuas untk melukis hidup denganku?
Ya..
Jika tak sempat, inginku dikau mendengarka n sepintah patahan yg menyatu.
Atau sempatkah ingin melihat lukisanku?
Jika hidup, inginkah menemani dikala sujudku?
Maukah engkau berbagi popok dikala malam yg tak sempat membenam dalam ingat?
Ijinkan dikala lelah berbagi cerita melepas penak dunia.
Sudihkah menggenggam jari dikala terjatuh?
Atau memegang kuas bersama untuk melukid dunia?
Yah..
Aku tak sesempat seperti yg lain mengenalmu.
Aku tak sesempat lelaki lain yang menjumpai sanakmu
Jika katamu ya, ku ingin lukis yang tak sempat lelaki lain menggambarkanya.
Jika nda, biarkan aku melukis hidupmu dalam misteri kuasku.
Yah...
Lukisku tak berwarna.
Rasanya engkau yang mewarnai kanfasku.
Aku memang menyajikan warna, tapi tak seindah warna pelangi kulukis untukmu.
Arah goresanku menunjukmu, tak memilihmu tapi meyakinimu.
Yah...
Engkau yg sudi mendengar kuas ku.
Entah engkau membentangkan kanfasnya.
Tapi aku mengutarakan imaji kuasku.
Bukan untuk membebanimu, tapi agar kau terlepas pada pilihan.
Jika kuasku patah, cerita itu tak seindah pelangi.
Jika dikau membentangkan kanfas, genggamlah jemariku untuk melukis hidup.
Ilusi Malam sastrawan gila terabaikan waktu

GUNUNG SANOLO BERNYANYI


Sebagai riwayat yg pernah menyinta.
Gemuruh indah nyawa sang lirih.
Sajak bergumam akan indahmu
Terurai rambut gersangmu penuh warna

Bait-bait menjulang baris kata akan warnamu.
Seindah apa yg tak bisa sajakku yg berbait penuh lirik.
Kemana kataku sejak aku melihatmu?
Keangkuhanku tak membuatku sempat melirikmu?


Bah kaca melihat tanganmu terurai merangkul jari imajiku akanmu.
Bangkai malam ternoda menggiringku pada kata-kata alam.
Indah rupamu mengisyaraktkan "nikmat apa yg kau ingkari"?
Indahmu gunung "NTANDA LEWA"

Dalam buang


Telah berlalu musim tak terlukis waktu.
Bertubi nestapa menembak bejuta nadi
Sang dalang tergiring naskah yg tak sempat dia untaikan.
Tahta cinta berlukiskan pelangi tanpa warna
Dalam buangan waktu, termanggung di kaki waktu.
Dua sejoli tersebung mewah.
Dibalik etalase bercerita arti rindu dan rasa.
Menapaki jejak yang setapak kini raya.
Bermusim bercerita akan kemarau merindukan dingin.
Bermasa musim hujan tak berembun.
Bermimpi selayak rindu yang menanti cinta.
Dalam buaian sang rambut panjang, mampukah engkau menampung rindu yang sendiri aku tak mampu menampungnya?
Seindah telanovela, bukan. Tak mampu dilukiskan.
Sesampainya terngiang mantra sang pengobral cinta.
Dimana letak cinta yang tak sempat mati mengabarkan akan napas ?
Terkurung dalam bait sajak yang tak mampu mengurai rasa kata.
Riuh berbintang yang mengerti cahaya.
Terlena dalam ruang dan waktu.
Aku masih memiliki janji yang tak sempat aku sampaikan.
Jika engkau terbangun akan sadarmu.
Masihkah engkau bertanya akan rindu yang menanti cinta.
Buangan waktu pada waktu yang tak memiliki waktu

Serdadu


mengembara bersenjatakan tinta dan pena
mengitari batas masa yang tak begitu bercahaya.
memburu yang tak jua mengaitkan benang merah hidup
masihkah ada sisa waktu utukku?
serdadu berkompaskan mentari, mengintari dunia kerlip kelabu.
sajadah enggantung diujung dahi.
yah....mentari itu terik, sepanas waktu yg aku intai.
sabda tergingan dilorong berlumutan, adakah jalan untuk sang serdadu?
senja di bulan september.
tintah bermuntah muntahan larfa bercucurkan keringat bara.
senandung syair tak lagi terdengan memaki langkah
enyah lelah dan lesuh, masih bersama kompas yang tak berarah.
terngiang risalah mantra dikaki gunung waktu, menutup mata dikejahuan waktu.
serdadu
langkahmu begitu tertatih, bangkitlah bersama mentari esok untuk kembali mengejR mimpimu yang tertunda.

Hidup


Menggema mengiris nadi
Semakin marwah melintang dikaki senja
Memukau melikuk rindu menanti waktu
Sajak-sajak telah lama layu bersama rindu kegersangan jiwa.
Wahai pengembara...
Aku mengembara untukmu. Yah untkmu rindu
Wahai cinta, sampai kapan aku mengejarmu?
Sampai kapan engkau meriwayatkan yg tak jua engkau lukiskan
Disini, aku masih bersama hidup mengembaraa
Kadang aku mengeluh pada waktu
Bukan aku tak setegar karang
Aku hanyalah penyair terluntah menggapai sisi hidup
Bila nanti dan nanti kau mendengar
Aku di sini masih bersama cinta untukmu.
Bila aku telah jauh, jangan biarkan aku tak menoleh.
Bila aku terjatuh melangkahlah bersamaku untuk menggapai hidup

AKU


Aku masih berpikir pada setumpuk sisa waktu,
Masihkah jemari meninipkan rindu pada awan yang tak jua menyelimuti rembulan?
Aku masih menerkah pada setitik jejak yg terlupakan jaman,
Masikah aku menyaksikan risalah bangsa ini?
Atau itu tidak akan hadir sampai malam yg abadi.
Aku kan hidup seabad lagi,
Bukan ragaku juga bukan aku.
Tapi ingatanku yg akan tetap hidup bersama senja kala itu.
Negeriku mencongkel mata dan menusuk telingaku.
Dimana sang negara?
Sekarang hanya sekedar negara tiruan.
Dimana mimpi itu?
Aku kan hadir disela masa, bukan aku tapi pikirku.
Bangsaku telah lama mati,
Hanya sekelompok wakil yg mengalungkan uang atas namaku.
Aku sendiri masih berpikir,
Apakah aku adalah aku yg aku tahu?
Negeriku yg makmur derita, tak seindah tanahnya.
Laut yg bergelimang ruah sahaja,
Hanya menjadi cerita sang derita sang pelut.
Lantas apa yg ingi aku banggakan?
Aku disini bersama gerimis yg bernyanyi tentang risau penghuninya.
Goah goa berlumut menyelimuti lambung tak berisi,
Dimana negeri yg makmur itu?
Makmur dengan hutang?
Atau.. makmur akan kebohongan?
Yah...
Seabad lagi aku ingin kembali,
Untuk menyaksikan kehancuran itu.
Tanah, api dan laut
Masihkah semakmur pencerita yg mulutnya berbau selangkang?
Bangkitlah, mengaunglah, mencakarlah, terkalah seperti kau adalah pembawa perubahan itu.
Aku dan negeriku

Minggu, 06 Agustus 2017

SANG GURU

Engkau memilah memilih benih, mesti kau sadar itu bukan hak dan kehendakmu
Pada pagi engkau tersenyum, mesti kau sadar ada yang engkau tinggal dibelakang langkahmu.
Dia mengairi meski engkau sadar tak semua tau engkau yang mengairi untuk masanya.
Pada terik enggkau menggumam, Aku bukanlanlah sebenarnya pencipta, tapi dirimu yang menatanya

engkau telah memilah, tiba saatnya engkau menanam yang engkau juga sadar itu bukan hakmu
menumbuhkanya itu bukan hakmu, tapi kau berusaha agar engkau menggambarkan impian itu.
pada jemarimu kau simpan nestapa tanpa ujung
pada mimpimu terlintas bantas tanpa ujung untuk yang engkau tanami

tiba waktunya engkau melihat mereka berbuah mimpimu, meski kau terabaikan
dihati menggumam, genggamlah mimpimu yang menjadi hastratmu
dia termanggung dalam deraian mata melepas menuju juangmu
tak sempatkah engkau tersadar dia memilah, menanam hingga engkau berbuah lebat?

kata sang guru
yakinilah yang menjadi hidupmu..

untaian

semari ku untai, jua aku katakan, tak kubiarkan nafas berhembus tanpa mengingat! itulah cinta kain putih n kain kafan. utuh utuk tidak

Bait malam


Pada cinta, sesampai aku termanggu pada kebodohan ilusi malam
Pada cinta, aku bertahtahkan bunga teratai terabaikan ruang
Pada cinta, sesudah malam, masihka aku bisa temani gemari tanganmu
Pada malam, aku disini bersama bintang entah sunyi dalam keramaian
Pada malam, masihka bisa aku memeluk bulan?
Pada malam, masihkah aku bisa bercermin pada gelapmu?
Pada malam, disini, yahh disini aku menunggu pagi.
Pada bintang, masihkah engkau berkilau diantara bintang kejora?
Pada bintang, masihka engkau menyanyikan lirik tentang aku?
Pada bintang, masihkah kita bersama menyambut sang fajar?
Pada bintang, aku terpukau pada sinarmu yg redup, dan masihkah kau berpikir aku adalah aku yg sempat engkau sebut dalam doamu?
Pada bulan, masihkah enggan engkau berkulau dalam sendirimu?
Pada bulan, kilaumu menyayat mataku untuk memujamu.
Pada bulan, sendirimu menceritakan tentang arti menunggu engkau tersadar dalam cahayamu
Pada bulan, aku dan dirimu sama menerawang yg tak sempat kita langkah melihatnya.
Berjuta rasa dalam masa memasungku untuk mencintai
Bejuta belati menyatukan sayatan yg sempat terbelah
Aku telah merajut waktu yg tak aku pungkiru tak bisa aku ciptakan.
Sesampainya engkau tau aku munkin mengisi ruang yg tak sadar kau melihatnya.
Bermasa aku terngiang sajian sesepuh tentangmu
Yah
Itu tentangmu yang tak sempat engkau tau arti cintaku.
Aku melukis kata bukan untuk mengubahmu
Aku merangkai agar kau pernah tau ada cinta yg terlintas antara cinta dan rindu yg terbungkam.
Bila waktunya engkau tau, sempatkah engkau bercerita arti diriku
Jika engkau tak sempat tahu, biarkan kain merah muda terkubur dalam jiwa
Nestapa bait malam yg sunyi

Senin, 20 Maret 2017

Risalah


Tali yang melintang telah lantang berapi-api membakar risalah waktu.
Bertuah dalam reruntuhan peradaban sang serdadu cinta.
Beranjak menapaki sisa untaian mistik besenandung mantra sang sejoly terselubung mewah.
Bertahtahkan lahar berbumbu asap tirani pemadani mewah.

Engkau berceritakan sepotong ludah berhiasi emas permata.
Nubari terongrong sebuah risalahmu berlumutan.
Berparfum luar negeri berbau selangkang.
Seonggok jagung berisalahkan mimpi berlalu lalang hingga hinggap di dahang rapuh.

Bila waktu yang mengabaikan, apalah daya raga bah kapas tertompang tamping angin.
Engkau yang terselubung kain merah muda,
Selepas tiada badai, kita kan menuju singgasana dengan jalan yang berbeda

Senin, 13 Maret 2017

RASA


aku terbungkus kain hidup.
Mengaku hidup berabadi tapi senja.
Walau hidup bersandiwars dari panggung ke panggung.
Membeku dalam cinta tak berujung.
Jika awan tak sempatkan cinta selepas hujan turun.
Biarkan aku membangkang menaru rindu selepas tiada.
Jika tubuh sempat merayu angin sepoi yang menyejukan.
Biarkan aku membisu dalam cinta yang merindu.
Rintik-rintik itu mengiang sajak.
Pelbagai amarah rindu membungkus dalam perapian.
Merajuk napas membungkus amara.
Sebagian itu terlena dalam kebisingan malam.
Kelam dalam larut malam mengikis rasa ternoda sejoli.
Berandailah dalam nyanyian mantramu.
Biarkan aku bertajuk dalam bisu, selepas tiada lagi rintik-rintik dalam cinta.

TENTANG DEEP LEARNING (IGI KAB. BIMA)

  "Deep Learning" atau Pembelajaran Mendalam dalam konteks pendidikan melibatkan pendekatan yang mendalam dan bermakna terhadap ...