Hey...
Kamu
Bukan.
Kamu..
Iya kamu
Sempatkah waktu untuk mendengarkan lukisanku?
Atau sudikah engkau memegang kuas untk melukis hidup denganku?
Ya..
Jika tak sempat, inginku dikau mendengarka n sepintah patahan yg menyatu.
Atau sempatkah ingin melihat lukisanku?
Jika hidup, inginkah menemani dikala sujudku?
Maukah engkau berbagi popok dikala malam yg tak sempat membenam dalam ingat?
Ijinkan dikala lelah berbagi cerita melepas penak dunia.
Sudihkah menggenggam jari dikala terjatuh?
Atau memegang kuas bersama untuk melukid dunia?
Yah..
Aku tak sesempat seperti yg lain mengenalmu.
Aku tak sesempat lelaki lain yang menjumpai sanakmu
Jika katamu ya, ku ingin lukis yang tak sempat lelaki lain menggambarkanya.
Jika nda, biarkan aku melukis hidupmu dalam misteri kuasku.
Yah...
Lukisku tak berwarna.
Rasanya engkau yang mewarnai kanfasku.
Aku memang menyajikan warna, tapi tak seindah warna pelangi kulukis untukmu.
Arah goresanku menunjukmu, tak memilihmu tapi meyakinimu.
Yah...
Engkau yg sudi mendengar kuas ku.
Entah engkau membentangkan kanfasnya.
Tapi aku mengutarakan imaji kuasku.
Bukan untuk membebanimu, tapi agar kau terlepas pada pilihan.
Jika kuasku patah, cerita itu tak seindah pelangi.
Jika dikau membentangkan kanfas, genggamlah jemariku untuk melukis hidup.
Ilusi Malam sastrawan gila terabaikan waktu
Kamu
Bukan.
Kamu..
Iya kamu
Sempatkah waktu untuk mendengarkan lukisanku?
Atau sudikah engkau memegang kuas untk melukis hidup denganku?
Ya..
Jika tak sempat, inginku dikau mendengarka n sepintah patahan yg menyatu.
Atau sempatkah ingin melihat lukisanku?
Jika hidup, inginkah menemani dikala sujudku?
Maukah engkau berbagi popok dikala malam yg tak sempat membenam dalam ingat?
Ijinkan dikala lelah berbagi cerita melepas penak dunia.
Sudihkah menggenggam jari dikala terjatuh?
Atau memegang kuas bersama untuk melukid dunia?
Yah..
Aku tak sesempat seperti yg lain mengenalmu.
Aku tak sesempat lelaki lain yang menjumpai sanakmu
Jika katamu ya, ku ingin lukis yang tak sempat lelaki lain menggambarkanya.
Jika nda, biarkan aku melukis hidupmu dalam misteri kuasku.
Yah...
Lukisku tak berwarna.
Rasanya engkau yang mewarnai kanfasku.
Aku memang menyajikan warna, tapi tak seindah warna pelangi kulukis untukmu.
Arah goresanku menunjukmu, tak memilihmu tapi meyakinimu.
Yah...
Engkau yg sudi mendengar kuas ku.
Entah engkau membentangkan kanfasnya.
Tapi aku mengutarakan imaji kuasku.
Bukan untuk membebanimu, tapi agar kau terlepas pada pilihan.
Jika kuasku patah, cerita itu tak seindah pelangi.
Jika dikau membentangkan kanfas, genggamlah jemariku untuk melukis hidup.
Ilusi Malam sastrawan gila terabaikan waktu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar